survival

welcome

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industrys standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Kecapi suling





Kacapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda. Waditranya terdiri dari Kacapi dan Suling. Kacapinya terdiri dari Kacapi Indung atau Kacapi Parahu atau Kacapi Gelung. Selain disajikan secara instrumentalia, Kacapi Suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru Sekar yang melantunkan lagu secara Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang di sajikannya di antaranya : Sinom Degung, Kaleon, Talutur dan lain sebagainya. Laras yang di pergunakannya adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog.

Berbeda dengan sebutan Kacapi Suling atau Kacapian bila menggunakan Kacapi Siter. Sudah lazim selain Kacapi Siter dan Suling di tambah pula 1 (sate) set Kendang dan 1 (satu) set Goong. Laras yang di pergunakannya sama seperti laras yang biasa di pergunakan pertunjukan Kacapi Suling yang mempergunakan Kacapi Parahu yaitu" laras Salendro, Pelog, Sorog. Kecapi Suling yang mempergunakan Kecapi Siter, selain menyajikan instrumentalia juga di pergunakan untuk mengiringi nyanyian (kawih) baik secara Anggana Sekar maupun secara Rampak Sekar.
Lagu-lagu yang disajikan secara Anggana Sekar yaitu seperti : Malati di Gunung Guntur, Sagagang Kembang Ros dan lain sebagainya. Sedangkan untuk Rampak Sekar di antaranya Seuneu Bandung, Lemah Cai dan lain sebagainya.


Dalam perkembangannya baik Kacapi Suling yang menggunakan Kacapi Parahu maupun Kacapi Sitter, sering di pergunakan untuk mengiringi Narasi Sunda dalam acara Ngaras dan Siraman Panganten Sunda, Siraman Budak Sunatan, Siraman Tingkeban.
Selain instrumentalia disajikan pula lagu-lagu yang rumpakanya disesuaikan dengan kebutuhan acara yang akan di laksanakan. Lagu yang disajikan diambil dari lagu-lagu Tembang Sunda Seperti diantaranya Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon dan lain sebagainya. Ada pula yang mengambil lagu-lagu kawih atau lagu Panambih pada Tembang Sunda seperti di antaranya Senggot Pangemat, Pupunden Ati dan lain sebagainya.

Disamping perangkat Kecapi dan Suling ada pula perangkat Kecapi Biola dan Kecapi Rebab yang membawakan lagu-lagu yang sama. Dalam penyajiannya, Kecapi memainkan bagian kerangka iramanya sedangkan bagian lagunya di mainkan oleh Suling, Biola atau Rebab. Adapun tangga nada atau laras yang dalam Karawitan Sunda di sebut dengan Surupan, ada pula yang di sebut dengan Salendro, Pelog dan Sorog.
(Sumber : www.westjavatourism.com)

***

Info terkait :

Kecapi, Kini Bisa Dipetik 10 Jari
http://www.klik-galamedia.com/20070826/kolomlengkap.php?kolomkode=20070826015528
TAHUN ini merupakan tahun kedua penyelengaraan pasanggiri kecapi. Jumlah pesertanya sedikit meningkat dibandingkan yang pertama. Tidak kurang dari 11 tim dari seluruh kabupaten kota di Jabar ikut ambil bagian pada pasanggiri kecapi yang memperebutkan piala bergilir Gubernur Jawa Barat dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar.

"Tahun lalu, jumlah peserta hanya delapan tim. Sedangkan tahun ini mencapai 11 tim. Lumayan ada sedikit peningkatan," unkap Kasubdin Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar, Nunung Sobari.

Jika dilihat dari sisi jumlah peserta, memang terbilang minim. Walaupun baik Nunung Sobari maupun ketua penyelenggara, Tatang Benjamin mengaku ada peningkatan jumlah peserta. Sehingga timbul pertanyaan, apakah minat dan apresiasi masyarakat, khususnya kalangan generasi muda terhadap seni kecapi masih tinggi? Suatu pertanyaan yang standar dan klasik. Mengingat semua kalangan dipastikan menanyakan masalah tersebut. Dampaknya, jawaban pun pasti sangat standar.

"Minat masyarakat dan generasi muda pada seni kecapi masih cukup tinggi. Ini terlihat dari para peserta yang mengikuti pasanggiri rampak kecapi tahun 2007. Memang, jumlah peserta hanya 11 tim. Namun dari segi kualitas permainan kecapi tidak bisa diragukan," papar Nunung.

Sekalipun minim peserta, namun tidak membuat komposisi dan aransemen musik kecapi yang dimainkan menjadi miskin nada. Repertoar lagu "Warung Pojok" karya maestro tarling, H. Abdul Abdjib dan "Badminton" karya maestro karawitan Sunda, Mang Koko Koswara di tangan para para peserta pasanggiri rampak kecapi menjadi suatu alunan lagu yang indah dan penuh enerjik. Hal inilah yang dimaksudkan Nunung Sobari, kualitas dari permainan dan petikan yang memainkan lagu "Warung Pojok" dan "Badminton" seperti menjadi suatu lagu yang baru, namun tidak meninggalkan kaidah nada standarnya. Dari tangan mereka, musik kecapi yang dimainkan menjadi lebih kaya dan tidak kalah dengan musik yang dihasilkan alat musik elektrik maupun musik komputer (midi) sekalipun.

Inovasi kreatif

Awalnya permainan kecapi, seperti yang sering dimainkan Mang Koko dimainkan hanya dengan dua jari. Saat ini tidak lagi. Permainan kecapi bisa dimainkan oleh lebih dari dua jari, bisa empat bahkan 10 jari. Hal inilah yang coba diangkat dari pasanggiri rampak kecapi tahun ini. Dengan demikian, seni main kecapi bisa lebih digandrungi oleh kalangan generasi muda. Karena bagaimana pun, generasi yang kaya dengan kreativitas dan inovasi bisa meningkatkan kualitas dari permainan kecapi tersebut.

Kualitas inilah yang membuat penampilan sebelas peserta perwakilan dari Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Bogor serta Kota dan Kab. Bandung mengundang acungan jempol dan aplaus penonton yang memadati auditorium Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 10 Bandung yang berkapasitas 250 penonton. Tidak terkecuali Kang Tatang Benjamin, putra Almarhum Mang Koko yang juga selaku Ketua Yayasan Cangkurileung dan penggagas kegiatan serta Kang Nano S., penerus jejak (Alm.) Mang Koko.

Setelah satu hari satu malam bertanding, muncul sebagai juara umum tim GRPS Enterprise dari Kab. Bandung, disusul Sanggita (Kota Bandung) sebagai juara II, juara III Perceka (Kab. Cianjur), harapan I SMPN 4 Cianjur, harapan II Gentra Lumayung (Kota Bandung), dan harapan III Sweet Gapa (Kota Bogor).

Para juara ini, semuanya dari kalangan generasi muda yang mampu menampilkan permainan kecapi yang lain dari biasanya, yakni dengan menggunakan lebih dari 20 jari (setiap tim beranggotakan enam orang). Bisa dibayangkan bagaimana rancaknya permainan kecapi, tetapi menghasilkan nada yang indah, harmonis, dan enerjik.

Khawatir dicaplok

Ada rasa bangga dari diri Tatang Benjamin dengan banyaknya peserta dari kalangan generasi muda, yakni tidak usah repot lagi mencari penerus pemetik kecapi. Sebelumnya, Tatang Benjamin merasa khawatir dan gundah karena belum menemukan penerus Mang Koko yang bisa mengangkat musik kecapi di hadapan pemerintah serta masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.

Kekhawatiran dan kegundahan Tatang Benjamin ini didasari semakin gencarnya pemerintah dan masyarakat Malaysia mempelajari seni kecapi. Dan Tatang Bejamin pun merasa takut, jika hal ini dibiarkan oleh pemerintah dan masyarakat Sunda (Indonesia), bukan tidak mungkin kecapi akan dicaplok dan diakui sebagai alat musik asal Malaysia, seperti angklung.

"Saya tahu sendiri, bagaimana gencarnya pemerintah dan masyarakat Malaysia mempelajari angklung sekitar 1970 lalu. Buktinya, sekarang angklung diklaim sebagai alat musik asli Malaysia dan pemerintah kita tidak bisa apa-apa," paparnya.

Untuk itu, Tatang pun bersama seniman kecapi lainnya berencana akan mendaftarkan musik dan alat musik kecapi ke badan dunia yang menangani hak kekayaan intelektual (HaKI). Namun Tatang merasa kebingungan, harus ke mana dia meminta bantuan di Indonesia. Karena pemerintah Indonesia kurang peduli terhadap kekayaan intelektual rakyatnya.

"Perhatian pemerintah sangat kurang terhadap karya cipta intelektual rakyatnya. Bukan hanya itu, terhadap kesenian tradisional Indonesia pun, pemerintah kita sama saja tidak peduli," paparnya.

Berbicara musik kecapi, apa yang dipentaskan pada pasanggiri rampak kecapi memang berbeda dengan musik kecapi yang bisa diperdengarkan berupa kecapi suling. Kecapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda.

Kecapinya terdiri atas kecapi indung atau disebut pula kecapi parahu atau kecapi gelung. Selain disajikan secara instrumentalia, kecapi suling juga dapat digunakan untuk mengiringi juru sekar yang melantunkan lagu secara anggana sekar atau rampak sekar. Lagu yang disajikannya di antaranya sinom degung, kaleon, talutur, dan lain sebagainya. Laras yang di pergunakannya adalah laras salendro, pelog atau sorog.

Berbeda dengan sebutan kecapi suling atau kecapian bila menggunakan kecapi siter. Sudah lazim selain kecapi siter dan suling di tambah pula satu set kendang dan satu set goong. Sedangkan laras yang dipergunakannya sama seperti laras yang biasa dipergunakan pertunjukan kecapi suling yang mempergunakan kecapi parahu yaitu laras salendro, pelog, sorog. Kecapi suling yang mempergunakan kecapi siter, selain menyajikan instrumentalia, juga dipergunakan untuk mengiringi nyanyian (Sunda, kawih), baik secara anggana sekar maupun secara rampak sekar.

Lagu-lagu yang disajikan secara anggana sekar, seperti "Malati di Gunung Guntur", "Sagagang Kembang Ros", dan lain sebagainya. Sedangkan untuk rampak sekar di antaranya "Seuneu Bandung", "Lemah Cai", dan lain sebagainya.

Seni tembang cianjuran lahir dari hasil cipta rasa dan karsa Bupati Cianjur IX, R. Aria Adipati Kusumaningrat (1834-1861) atau lebih sering dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Namun dalam penyempurnaannya hasil ciptaannya tersebut, dalem Pancaniti dibantu seniman kabupaten yaitu Rd. Natawiredja, Aem, dan Maing Buleng. Ketiga orang inilah yang kemudian mendapat izin Dalem Pancaniti untuk menyebarkan lagu-lagu cianjuran.

Pada zaman pemerintahan R.A.A. Prawiradiredja II (1861-1910), seni tembang cianjuran disempurnakan lagi aturannya. Dengan ditambah iringan suara kecapi dan suling, lahirlah tembang cianjuran yang dikenal sampai saat ini.

Tembang cianjuran pada awalnya merupakan musik yang penuh prestise para bangsawan. Oleh sebab itu, kehadiran tembang cianjuran pada awalnya diperuntukkan bagi para pejabat atau masyarakat kelas tinggi. Dan karena itu juga tempat pertunjukannya selalu berada pada pendopo-pendopo kabupaten. Biasanya untuk acara-acara resmi penyambutan tamu bupati atau upacara-upacara resmi hari besar nasional.

Sejarah

Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan Bupati Cianjur, R.A.A. Kusumaningrat (1834-1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal itu terbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu Oroh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.

Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau.

Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A. Prawiradiredja II (1864-1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh Bupati Bandung R.A.A. Martanagara (1893-1918) dan R.A.A. Wiranatakoesoemah (1920-1931 & 1935-1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau cianjuran karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio Nirom Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan tembang cianjuran.

Sebenarnya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh (tembang) karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk.

Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro serta mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam beberapa wanda, yaitu papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh kinanti, sinom, asmarandana, dan dangdanggula serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.

Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat. (berbagai sumber) **

Hariring Panggeuing


Sakumaha inohong Mamaos Cianjuran sateuacanna, Aki Dadan oge seueur nyiptakeun rumpaka Mamaos Cianjuran ku anjeun. Utamina nu sering pisan mah dina ngolah rumpaka Rajah Pangjajap, lian ti rumpaka-rumpaka sanesna.

Danget ieu Aki Dadan remen kenging uleman, kanggo ngahaleuangkeun Rajah Pangjajap ciptaanana dina sagala rupi kagiatan. Rajah Pangjajap ngarupikeun du’a panganteur, dina wangun Mamaos Cianjuran. Biasana dihaleuangkeun rengse lantuman ayat suci Al-Qur’an, nu rumpakana disaluyukeun sareng thema acara.

Saleresna seueur pisan Rajah Pangjajap anggitan Aki Dadan teh, namung henteu sadayana tiasa dikempelkeun tur dilebetkeun kana ieu buku. Kumargi aya diantawisna nu tos dihaleuangkeun, namung henteu teras dirawatan deui ku anjeunna.

Numawi dina buku ieu, mung sababaraha hiji nu tiasa kapidangkeun. Diantawisna bae ;

Hariring Panggeuing

1. Instrumental Kacapi Suling

………………………

………………………

2. Narasi :

Dulur-dulur Nu Mangkuk di Tatar Pasundan

Baraya Saantero Jagat

Jagat di Buana Panca tengah

Peupeujeuh ……………….. peupeujeuh

Mangka waspada mangka iatna

Ulah kajongjonan teuing

Aranjeun geus lali ka purwadaksi

Aranjeun boga pancen …………

Aranjeun boga pancen mirosea

Nagara katut pangeusina

Tembang Ki Dadan :

Geura balik geura balik

Geura mulang geura mulang

Mulang kana kasundaan

Geura teang geura teang

Geura sampeur geura sampeur

Titinggal ti Pajajaran

Warisan ti Siliwangi

3. Instrumental Kacapi Suling …….,

Narasi :

Beberkeun jangjang aranjeun !

Sabab anjeun bakal ngambah sagara umpalan

Prung ! ………. prung sampiung geura manggung ngaheuyeuk nagri ngolah Nagara

Tapi omat …… Tapi omat sing sareundeuk saigel sabobot sapihanean

Tembongkeun silih Asih ….tembongkeun silih Asah …tembongkeun silih Asuh tembongkeun Silih Wangi. Sunda sadu santa budi

Bral !…….. bral geura penta du’a Indung Bapa aranjeun

Geura penta Rachmat Pangeran, kurihit pangasih Gusti

Bekelna Iman jeung takwa ! jadikeun tameng pikeun nyorang sagara kahirupan

Bareng (ragem) :

Run turun Jati rahayu

Bray siang banjaran bagja

* * *

Rajah Pangjajap

1. Puji syukur ka Maha Agung

Ya Robi Gofururohim

Taqobballahu mina wa minkum

minal aidin wal faidin

lubarkeun urang silih lubarkeun

2. Amit ampun nya paralun

ka Gusti Nu Maha Agung

ka Nabi anu linuhung

Muhammad anu jinunjung

rachmat syafaat kasuhun

limpahkeun kanu sami hadir

3. Kaluhur neda papayung

papayung Nu Maha Agung

kahandap neda pangraksa

pangraksa Maha Kawasa

kaler kulon kidul wetan

Indonesia mugi diaping dijaring

4. Saum disasih Romadhon

panggeuing ti Mahasuci

panggupay Maha Kawasa

sangkan takwa tur toweksa

ngahontal martabat utama

punjul mumbul darajatna

mibanda elmuning pare

5. Rumaos abdi rumaos

can kahontal saum nu husu

ngan saukur - ngan saukur

ngan saukur nahan lapar

ngan saukur nahan dahaga

panca indra toloheor

luput meruhkeun hawa nafsu

hapunten Gusti hapunten

6. Pihatur jungjunan alam

sakur muslimin muslimat

to’at uswatun hasanah

tembongkeun katuladanan

Insya Allah — Insya Allah

Indonesla walagri

Amin Ya Robbal Alamin

mugi Gusti nangtayungan

* * *

Sunda Mekar

Cacandran para luluhur

Ciri bumi dayeuh pancatengah ciri dayeuh pancatengah

Lemah duhuma..lebak Iengkobna lemah padataranana

(gelenyu) ……………………………………………………………………………………… Naga mukti wibawa perlambangna congkrang kujang papasangan

(Gelenyu)…………………………………………………………………………………………….

Yasana para bujangga, teu sulaya dinyatana

Pasundan tanahna subur

Gemah ripah ma’mur loh jinawi gemah ripah loh jinawi

Gunung-gunungna cur cor caina ngaplak pasawahanana

(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………

Cukul sugri pangebonan karaharjaan mencar mawur kajauhna

(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………

Nagri nanjung panjang punjung

Murah sandang murah pangan

Sunda surup kana tangtung

sunda sieup ngumbang ka wandana

Sieup ngambang ka wandana

Ajeg adegna budi basana teu ngerakeun wawanen-NA

(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………. Someah narima semah matak betah

ka nu ngadon bubuara

(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………..

Tara ebreh pangartina teu nembongkeun kabisana

Tetekon basa karuhun

Sunda sadu sandi santa budi………….

sunda sandi santa budi

Leuleus jeujeurna liat talina teguh pamadeganana

(Gelenyu)

Sagolek pangkek dayana tara mundur

mun tacan kacanir bangban

(Gelenyu)

Teu renjagan teu gembangan ayem pasipatanana

* * *

Ampun ka anu Maha Agung,

Nu kagungan Kun fayakun

Jleg ngadeg sakur kersaNA

Bral gumelar kawasaNA

Di langit pating karetip

Dl bumi pating kulisik

Kumelip di alam lahir

Bari muji sihing Gusti

Ayatna Alhamdulillah

Ra’jah du’a, du’a rajah

Du’a medal maring Allah

Dina ati anu suci

Dina rasa nu rumasa

Dina iman dina Islam

Kitabna Qur’anul Karim

Nu Agung Allahu Akbar,

Ieu anu dirajahan

Isuk caang sore padang

Balungbang jalan tincakeun

Nyandak tina hukum sara

Lailaha illallah

Muhammadurosullullah

Ampuuun… ampuuun…

* * *

Sunda Mekar

( Cipt : Aki Endu Sulaeman Apandi )

Cacandran para luluhur

Ciri bumi dayeuh pancatengah ciri dayeuh pancatengah

Lemah duhurna..lebak Iengkobna lemah padataranana

( Gelenyu )

Nagara mukti wibawa perlambangna congkrang kujang papasangan

( Gelenyu )

Pasundan tanah na subur yasana para Bujangga teu sulaya dinyatana

Gemah ripah ma’mur Ioh jinawi, gemahripah loh jinawi

Gunung — gunungna curcor caina ngaplak pasawahanana

( Gelenyu )

Cukul sugri pangebonan karaharjan mencar mawur kajauhna

Nagri nanjung panjang punjung

Murah sandang murah pangan

Sunda surup kana tangtung sunda sieup ngumbang ka wadana

Sieup ngumbang ka wandana

Ajeg adegna budi basana teu ngerakeun wawanenna

( Gelenyu )

Tara ebreh pangartina teu nembongkeun kabisana

Tetekon basa karuhun

Sunda sadu sandi santa budi…sunda sandl santa budi

Leuleus jeujeurna liat talina teguh pamadeganana

( Gelenyu )

Sagolek pangkek dayana tara mundur mun tacan

kacanir bangban

( Gelenyu )

Teu renjangan teu gembangan ayem pasipatanana

* * *

Duh Pasundan lemah cai kuring

Tanah endah tanding indra loka

nu jadi kaabot hate

tempat para luluhur

nya ka anjeun kuring babakti

satia tur bumela

sanggup tandon umur

imbang – imbang jiwa raga

batan Sunda kudu musnah kudu leungit

kajeun kuring nu ilang.

Karya Cipta : Ibu Anah Ruhanah (Almarhumah)

Tokoh Mamaos Cianjuran di Cianjur

Kanggo pangeling-ngeling kana jasa-jasa

Rd. Otto Iskandardinata

* * *

” Sunda Mekar “

(Cip : Endu Sulaeman Apandi)

1. Cacandran para luluhur

Ciri bumi dayeuh Pancatengah

Ciri dayeuh Pancatengah

Lemah duhurna lebak lengkobna

Lemah padataranana

Nagara mukti wibawa

Perlambangna congkrang kujang papasangan

Yasana para budjangga

Teu saluyu dinyatana

2. Pasundan tanahna subur

Gemah ripah ma’mur loh jinawi

Gemah ripah Ioh jinawi

Gunung-gunungna cur-cor caina

Makplak pasawahanana

Cukul sugri pakebonan

Karaharjaan mancer mawur ka jauhna

Nagri nanjung panjang punjung

Nagri sandang murah pangan

3. Sunda surup kana tangtung

Sunda sieup ngumbang ka wandana

Sieup ngumbang ka wandana

Ajeg-adegna budi basana

Teu narakeun wawanena

Someah narima semah

Matak betah kanu ngadon bubuara

Tara ebreh pangartina

Teu nembongkeun ka bisana

4. Tetekon basa karuhun

Sunda sadu sandi santa budi

Sunda sandl santa budl

Leuleus jeujeurna liat talina

Teguh pamadeganana

Sagolek pangkek dayana

Tara mundur mun tacan kacanir bangban

Teu renjagan teu gembangan

Ayem pasipatanana

5. Seuweu-siwi Siliwangi

Teureuh terah pencar Pajajaran

Terah pencar Pajajaran

Mangka waspada Sunda Sawawa

Sing priyatna ngariksana

Ngaraksa hemoh caina

Tetep aman Pasundan jaya santosa

Mekar Kabudayaanana

Sunda Jatnika waluya

* * *