Kecapi suling
Kacapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda. Waditranya terdiri dari Kacapi dan Suling. Kacapinya terdiri dari Kacapi Indung atau Kacapi Parahu atau Kacapi Gelung. Selain disajikan secara instrumentalia, Kacapi Suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru Sekar yang melantunkan lagu secara Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang di sajikannya di antaranya : Sinom Degung, Kaleon, Talutur dan lain sebagainya. Laras yang di pergunakannya adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog.
Berbeda dengan sebutan Kacapi Suling atau Kacapian bila menggunakan Kacapi Siter. Sudah lazim selain Kacapi Siter dan Suling di tambah pula 1 (sate) set Kendang dan 1 (satu) set Goong. Laras yang di pergunakannya sama seperti laras yang biasa di pergunakan pertunjukan Kacapi Suling yang mempergunakan Kacapi Parahu yaitu" laras Salendro, Pelog, Sorog. Kecapi Suling yang mempergunakan Kecapi Siter, selain menyajikan instrumentalia juga di pergunakan untuk mengiringi nyanyian (kawih) baik secara Anggana Sekar maupun secara Rampak Sekar.
Lagu-lagu yang disajikan secara Anggana Sekar yaitu seperti : Malati di Gunung Guntur, Sagagang Kembang Ros dan lain sebagainya. Sedangkan untuk Rampak Sekar di antaranya Seuneu Bandung, Lemah Cai dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya baik Kacapi Suling yang menggunakan Kacapi Parahu maupun Kacapi Sitter, sering di pergunakan untuk mengiringi Narasi Sunda dalam acara Ngaras dan Siraman Panganten Sunda, Siraman Budak Sunatan, Siraman Tingkeban.
Selain instrumentalia disajikan pula lagu-lagu yang rumpakanya disesuaikan dengan kebutuhan acara yang akan di laksanakan. Lagu yang disajikan diambil dari lagu-lagu Tembang Sunda Seperti diantaranya Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon dan lain sebagainya. Ada pula yang mengambil lagu-lagu kawih atau lagu Panambih pada Tembang Sunda seperti di antaranya Senggot Pangemat, Pupunden Ati dan lain sebagainya.
Disamping perangkat Kecapi dan Suling ada pula perangkat Kecapi Biola dan Kecapi Rebab yang membawakan lagu-lagu yang sama. Dalam penyajiannya, Kecapi memainkan bagian kerangka iramanya sedangkan bagian lagunya di mainkan oleh Suling, Biola atau Rebab. Adapun tangga nada atau laras yang dalam Karawitan Sunda di sebut dengan Surupan, ada pula yang di sebut dengan Salendro, Pelog dan Sorog.
(Sumber : www.westjavatourism.com)
***
Info terkait :
Kecapi, Kini Bisa Dipetik 10 Jari
http://www.klik-galamedia.com/20070826/kolomlengkap.php?kolomkode=20070826015528
TAHUN ini merupakan tahun kedua penyelengaraan pasanggiri kecapi. Jumlah pesertanya sedikit meningkat dibandingkan yang pertama. Tidak kurang dari 11 tim dari seluruh kabupaten kota di Jabar ikut ambil bagian pada pasanggiri kecapi yang memperebutkan piala bergilir Gubernur Jawa Barat dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar.
"Tahun lalu, jumlah peserta hanya delapan tim. Sedangkan tahun ini mencapai 11 tim. Lumayan ada sedikit peningkatan," unkap Kasubdin Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar, Nunung Sobari.
Jika dilihat dari sisi jumlah peserta, memang terbilang minim. Walaupun baik Nunung Sobari maupun ketua penyelenggara, Tatang Benjamin mengaku ada peningkatan jumlah peserta. Sehingga timbul pertanyaan, apakah minat dan apresiasi masyarakat, khususnya kalangan generasi muda terhadap seni kecapi masih tinggi? Suatu pertanyaan yang standar dan klasik. Mengingat semua kalangan dipastikan menanyakan masalah tersebut. Dampaknya, jawaban pun pasti sangat standar.
"Minat masyarakat dan generasi muda pada seni kecapi masih cukup tinggi. Ini terlihat dari para peserta yang mengikuti pasanggiri rampak kecapi tahun 2007. Memang, jumlah peserta hanya 11 tim. Namun dari segi kualitas permainan kecapi tidak bisa diragukan," papar Nunung.
Sekalipun minim peserta, namun tidak membuat komposisi dan aransemen musik kecapi yang dimainkan menjadi miskin nada. Repertoar lagu "Warung Pojok" karya maestro tarling, H. Abdul Abdjib dan "Badminton" karya maestro karawitan Sunda, Mang Koko Koswara di tangan para para peserta pasanggiri rampak kecapi menjadi suatu alunan lagu yang indah dan penuh enerjik. Hal inilah yang dimaksudkan Nunung Sobari, kualitas dari permainan dan petikan yang memainkan lagu "Warung Pojok" dan "Badminton" seperti menjadi suatu lagu yang baru, namun tidak meninggalkan kaidah nada standarnya. Dari tangan mereka, musik kecapi yang dimainkan menjadi lebih kaya dan tidak kalah dengan musik yang dihasilkan alat musik elektrik maupun musik komputer (midi) sekalipun.
Inovasi kreatif
Awalnya permainan kecapi, seperti yang sering dimainkan Mang Koko dimainkan hanya dengan dua jari. Saat ini tidak lagi. Permainan kecapi bisa dimainkan oleh lebih dari dua jari, bisa empat bahkan 10 jari. Hal inilah yang coba diangkat dari pasanggiri rampak kecapi tahun ini. Dengan demikian, seni main kecapi bisa lebih digandrungi oleh kalangan generasi muda. Karena bagaimana pun, generasi yang kaya dengan kreativitas dan inovasi bisa meningkatkan kualitas dari permainan kecapi tersebut.
Kualitas inilah yang membuat penampilan sebelas peserta perwakilan dari Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Bogor serta Kota dan Kab. Bandung mengundang acungan jempol dan aplaus penonton yang memadati auditorium Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 10 Bandung yang berkapasitas 250 penonton. Tidak terkecuali Kang Tatang Benjamin, putra Almarhum Mang Koko yang juga selaku Ketua Yayasan Cangkurileung dan penggagas kegiatan serta Kang Nano S., penerus jejak (Alm.) Mang Koko.
Setelah satu hari satu malam bertanding, muncul sebagai juara umum tim GRPS Enterprise dari Kab. Bandung, disusul Sanggita (Kota Bandung) sebagai juara II, juara III Perceka (Kab. Cianjur), harapan I SMPN 4 Cianjur, harapan II Gentra Lumayung (Kota Bandung), dan harapan III Sweet Gapa (Kota Bogor).
Para juara ini, semuanya dari kalangan generasi muda yang mampu menampilkan permainan kecapi yang lain dari biasanya, yakni dengan menggunakan lebih dari 20 jari (setiap tim beranggotakan enam orang). Bisa dibayangkan bagaimana rancaknya permainan kecapi, tetapi menghasilkan nada yang indah, harmonis, dan enerjik.
Khawatir dicaplok
Ada rasa bangga dari diri Tatang Benjamin dengan banyaknya peserta dari kalangan generasi muda, yakni tidak usah repot lagi mencari penerus pemetik kecapi. Sebelumnya, Tatang Benjamin merasa khawatir dan gundah karena belum menemukan penerus Mang Koko yang bisa mengangkat musik kecapi di hadapan pemerintah serta masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.
Kekhawatiran dan kegundahan Tatang Benjamin ini didasari semakin gencarnya pemerintah dan masyarakat Malaysia mempelajari seni kecapi. Dan Tatang Bejamin pun merasa takut, jika hal ini dibiarkan oleh pemerintah dan masyarakat Sunda (Indonesia), bukan tidak mungkin kecapi akan dicaplok dan diakui sebagai alat musik asal Malaysia, seperti angklung.
"Saya tahu sendiri, bagaimana gencarnya pemerintah dan masyarakat Malaysia mempelajari angklung sekitar 1970 lalu. Buktinya, sekarang angklung diklaim sebagai alat musik asli Malaysia dan pemerintah kita tidak bisa apa-apa," paparnya.
Untuk itu, Tatang pun bersama seniman kecapi lainnya berencana akan mendaftarkan musik dan alat musik kecapi ke badan dunia yang menangani hak kekayaan intelektual (HaKI). Namun Tatang merasa kebingungan, harus ke mana dia meminta bantuan di Indonesia. Karena pemerintah Indonesia kurang peduli terhadap kekayaan intelektual rakyatnya.
"Perhatian pemerintah sangat kurang terhadap karya cipta intelektual rakyatnya. Bukan hanya itu, terhadap kesenian tradisional Indonesia pun, pemerintah kita sama saja tidak peduli," paparnya.
Berbicara musik kecapi, apa yang dipentaskan pada pasanggiri rampak kecapi memang berbeda dengan musik kecapi yang bisa diperdengarkan berupa kecapi suling. Kecapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda.
Kecapinya terdiri atas kecapi indung atau disebut pula kecapi parahu atau kecapi gelung. Selain disajikan secara instrumentalia, kecapi suling juga dapat digunakan untuk mengiringi juru sekar yang melantunkan lagu secara anggana sekar atau rampak sekar. Lagu yang disajikannya di antaranya sinom degung, kaleon, talutur, dan lain sebagainya. Laras yang di pergunakannya adalah laras salendro, pelog atau sorog.
Berbeda dengan sebutan kecapi suling atau kecapian bila menggunakan kecapi siter. Sudah lazim selain kecapi siter dan suling di tambah pula satu set kendang dan satu set goong. Sedangkan laras yang dipergunakannya sama seperti laras yang biasa dipergunakan pertunjukan kecapi suling yang mempergunakan kecapi parahu yaitu laras salendro, pelog, sorog. Kecapi suling yang mempergunakan kecapi siter, selain menyajikan instrumentalia, juga dipergunakan untuk mengiringi nyanyian (Sunda, kawih), baik secara anggana sekar maupun secara rampak sekar.
Lagu-lagu yang disajikan secara anggana sekar, seperti "Malati di Gunung Guntur", "Sagagang Kembang Ros", dan lain sebagainya. Sedangkan untuk rampak sekar di antaranya "Seuneu Bandung", "Lemah Cai", dan lain sebagainya.
Seni tembang cianjuran lahir dari hasil cipta rasa dan karsa Bupati Cianjur IX, R. Aria Adipati Kusumaningrat (1834-1861) atau lebih sering dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Namun dalam penyempurnaannya hasil ciptaannya tersebut, dalem Pancaniti dibantu seniman kabupaten yaitu Rd. Natawiredja, Aem, dan Maing Buleng. Ketiga orang inilah yang kemudian mendapat izin Dalem Pancaniti untuk menyebarkan lagu-lagu cianjuran.
Pada zaman pemerintahan R.A.A. Prawiradiredja II (1861-1910), seni tembang cianjuran disempurnakan lagi aturannya. Dengan ditambah iringan suara kecapi dan suling, lahirlah tembang cianjuran yang dikenal sampai saat ini.
Tembang cianjuran pada awalnya merupakan musik yang penuh prestise para bangsawan. Oleh sebab itu, kehadiran tembang cianjuran pada awalnya diperuntukkan bagi para pejabat atau masyarakat kelas tinggi. Dan karena itu juga tempat pertunjukannya selalu berada pada pendopo-pendopo kabupaten. Biasanya untuk acara-acara resmi penyambutan tamu bupati atau upacara-upacara resmi hari besar nasional.
Sejarah
Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan Bupati Cianjur, R.A.A. Kusumaningrat (1834-1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal itu terbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu Oroh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.
Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A. Prawiradiredja II (1864-1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh Bupati Bandung R.A.A. Martanagara (1893-1918) dan R.A.A. Wiranatakoesoemah (1920-1931 & 1935-1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau cianjuran karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio Nirom Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan tembang cianjuran.
Sebenarnya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh (tembang) karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk.
Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro serta mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam beberapa wanda, yaitu papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh kinanti, sinom, asmarandana, dan dangdanggula serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.
Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat. (berbagai sumber) **
Hariring Panggeuing
Sakumaha inohong Mamaos Cianjuran sateuacanna, Aki Dadan oge seueur nyiptakeun rumpaka Mamaos Cianjuran ku anjeun. Utamina nu sering pisan mah dina ngolah rumpaka Rajah Pangjajap, lian ti rumpaka-rumpaka sanesna.
Danget ieu Aki Dadan remen kenging uleman, kanggo ngahaleuangkeun Rajah Pangjajap ciptaanana dina sagala rupi kagiatan. Rajah Pangjajap ngarupikeun du’a panganteur, dina wangun Mamaos Cianjuran. Biasana dihaleuangkeun rengse lantuman ayat suci Al-Qur’an, nu rumpakana disaluyukeun sareng thema acara.
Saleresna seueur pisan Rajah Pangjajap anggitan Aki Dadan teh, namung henteu sadayana tiasa dikempelkeun tur dilebetkeun kana ieu buku. Kumargi aya diantawisna nu tos dihaleuangkeun, namung henteu teras dirawatan deui ku anjeunna.
Numawi dina buku ieu, mung sababaraha hiji nu tiasa kapidangkeun. Diantawisna bae ;
Hariring Panggeuing
1. Instrumental Kacapi Suling
………………………
………………………
2. Narasi :
Dulur-dulur Nu Mangkuk di Tatar Pasundan
Baraya Saantero Jagat
Jagat di Buana Panca tengah
Peupeujeuh ……………….. peupeujeuh
Mangka waspada mangka iatna
Ulah kajongjonan teuing
Aranjeun geus lali ka purwadaksi
Aranjeun boga pancen …………
Aranjeun boga pancen mirosea
Nagara katut pangeusina
Tembang Ki Dadan :
Geura balik geura balik
Geura mulang geura mulang
Mulang kana kasundaan
Geura teang geura teang
Geura sampeur geura sampeur
Titinggal ti Pajajaran
Warisan ti Siliwangi
3. Instrumental Kacapi Suling …….,
Narasi :
Beberkeun jangjang aranjeun !
Sabab anjeun bakal ngambah sagara umpalan
Prung ! ………. prung sampiung geura manggung ngaheuyeuk nagri ngolah Nagara
Tapi omat …… Tapi omat sing sareundeuk saigel sabobot sapihanean
Tembongkeun silih Asih ….tembongkeun silih Asah …tembongkeun silih Asuh tembongkeun Silih Wangi. Sunda sadu santa budi
Bral !…….. bral geura penta du’a Indung Bapa aranjeun
Geura penta Rachmat Pangeran, kurihit pangasih Gusti
Bekelna Iman jeung takwa ! jadikeun tameng pikeun nyorang sagara kahirupan
Bareng (ragem) :
Run turun Jati rahayu
Bray siang banjaran bagja
* * *
Rajah Pangjajap
1. Puji syukur ka Maha Agung
Ya Robi Gofururohim
Taqobballahu mina wa minkum
minal aidin wal faidin
lubarkeun urang silih lubarkeun
2. Amit ampun nya paralun
ka Gusti Nu Maha Agung
ka Nabi anu linuhung
Muhammad anu jinunjung
rachmat syafaat kasuhun
limpahkeun kanu sami hadir
3. Kaluhur neda papayung
papayung Nu Maha Agung
kahandap neda pangraksa
pangraksa Maha Kawasa
kaler kulon kidul wetan
Indonesia mugi diaping dijaring
4. Saum disasih Romadhon
panggeuing ti Mahasuci
panggupay Maha Kawasa
sangkan takwa tur toweksa
ngahontal martabat utama
punjul mumbul darajatna
mibanda elmuning pare
5. Rumaos abdi rumaos
can kahontal saum nu husu
ngan saukur - ngan saukur
ngan saukur nahan lapar
ngan saukur nahan dahaga
panca indra toloheor
luput meruhkeun hawa nafsu
hapunten Gusti hapunten
6. Pihatur jungjunan alam
sakur muslimin muslimat
to’at uswatun hasanah
tembongkeun katuladanan
Insya Allah — Insya Allah
Indonesla walagri
Amin Ya Robbal Alamin
mugi Gusti nangtayungan
* * *
Sunda Mekar
Cacandran para luluhur
Ciri bumi dayeuh pancatengah ciri dayeuh pancatengah
Lemah duhuma..lebak Iengkobna lemah padataranana
(gelenyu) ……………………………………………………………………………………… Naga mukti wibawa perlambangna congkrang kujang papasangan
(Gelenyu)…………………………………………………………………………………………….
Yasana para bujangga, teu sulaya dinyatana
Pasundan tanahna subur
Gemah ripah ma’mur loh jinawi gemah ripah loh jinawi
Gunung-gunungna cur cor caina ngaplak pasawahanana
(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………
Cukul sugri pangebonan karaharjaan mencar mawur kajauhna
(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………
Nagri nanjung panjang punjung
Murah sandang murah pangan
Sunda surup kana tangtung
sunda sieup ngumbang ka wandana
Sieup ngambang ka wandana
Ajeg adegna budi basana teu ngerakeun wawanen-NA
(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………. Someah narima semah matak betah
ka nu ngadon bubuara
(Gelenyu) ……………………………………………………………………………………..
Tara ebreh pangartina teu nembongkeun kabisana
Tetekon basa karuhun
Sunda sadu sandi santa budi………….
sunda sandi santa budi
Leuleus jeujeurna liat talina teguh pamadeganana
(Gelenyu)
Sagolek pangkek dayana tara mundur
mun tacan kacanir bangban
(Gelenyu)
Teu renjagan teu gembangan ayem pasipatanana
* * *
Ampun ka anu Maha Agung,
Nu kagungan Kun fayakun
Jleg ngadeg sakur kersaNA
Bral gumelar kawasaNA
Di langit pating karetip
Dl bumi pating kulisik
Kumelip di alam lahir
Bari muji sihing Gusti
Ayatna Alhamdulillah
Ra’jah du’a, du’a rajah
Du’a medal maring Allah
Dina ati anu suci
Dina rasa nu rumasa
Dina iman dina Islam
Kitabna Qur’anul Karim
Nu Agung Allahu Akbar,
Ieu anu dirajahan
Isuk caang sore padang
Balungbang jalan tincakeun
Nyandak tina hukum sara
Lailaha illallah
Muhammadurosullullah
Ampuuun… ampuuun…
* * *
Sunda Mekar
( Cipt : Aki Endu Sulaeman Apandi )
Cacandran para luluhur
Ciri bumi dayeuh pancatengah ciri dayeuh pancatengah
Lemah duhurna..lebak Iengkobna lemah padataranana
( Gelenyu )
Nagara mukti wibawa perlambangna congkrang kujang papasangan
( Gelenyu )
Pasundan tanah na subur yasana para Bujangga teu sulaya dinyatana
Gemah ripah ma’mur Ioh jinawi, gemahripah loh jinawi
Gunung — gunungna curcor caina ngaplak pasawahanana
( Gelenyu )
Cukul sugri pangebonan karaharjan mencar mawur kajauhna
Nagri nanjung panjang punjung
Murah sandang murah pangan
Sunda surup kana tangtung sunda sieup ngumbang ka wadana
Sieup ngumbang ka wandana
Ajeg adegna budi basana teu ngerakeun wawanenna
( Gelenyu )
Tara ebreh pangartina teu nembongkeun kabisana
Tetekon basa karuhun
Sunda sadu sandi santa budi…sunda sandl santa budi
Leuleus jeujeurna liat talina teguh pamadeganana
( Gelenyu )
Sagolek pangkek dayana tara mundur mun tacan
kacanir bangban
( Gelenyu )
Teu renjangan teu gembangan ayem pasipatanana
* * *
Duh Pasundan lemah cai kuring
Tanah endah tanding indra loka
nu jadi kaabot hate
tempat para luluhur
nya ka anjeun kuring babakti
satia tur bumela
sanggup tandon umur
imbang – imbang jiwa raga
batan Sunda kudu musnah kudu leungit
kajeun kuring nu ilang.
Karya Cipta : Ibu Anah Ruhanah (Almarhumah)
Tokoh Mamaos Cianjuran di Cianjur
Kanggo pangeling-ngeling kana jasa-jasa
Rd. Otto Iskandardinata
* * *
” Sunda Mekar “
(Cip : Endu Sulaeman Apandi)
1. Cacandran para luluhur
Ciri bumi dayeuh Pancatengah
Ciri dayeuh Pancatengah
Lemah duhurna lebak lengkobna
Lemah padataranana
Nagara mukti wibawa
Perlambangna congkrang kujang papasangan
Yasana para budjangga
Teu saluyu dinyatana
2. Pasundan tanahna subur
Gemah ripah ma’mur loh jinawi
Gemah ripah Ioh jinawi
Gunung-gunungna cur-cor caina
Makplak pasawahanana
Cukul sugri pakebonan
Karaharjaan mancer mawur ka jauhna
Nagri nanjung panjang punjung
Nagri sandang murah pangan
3. Sunda surup kana tangtung
Sunda sieup ngumbang ka wandana
Sieup ngumbang ka wandana
Ajeg-adegna budi basana
Teu narakeun wawanena
Someah narima semah
Matak betah kanu ngadon bubuara
Tara ebreh pangartina
Teu nembongkeun ka bisana
4. Tetekon basa karuhun
Sunda sadu sandi santa budi
Sunda sandl santa budl
Leuleus jeujeurna liat talina
Teguh pamadeganana
Sagolek pangkek dayana
Tara mundur mun tacan kacanir bangban
Teu renjagan teu gembangan
Ayem pasipatanana
5. Seuweu-siwi Siliwangi
Teureuh terah pencar Pajajaran
Terah pencar Pajajaran
Mangka waspada Sunda Sawawa
Sing priyatna ngariksana
Ngaraksa hemoh caina
Tetep aman Pasundan jaya santosa
Mekar Kabudayaanana
Sunda Jatnika waluya
* * *