survival

welcome

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industrys standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

namaku edelweis



Namaku Edelweis alias Anaphalis Javanica. Biasanya aku tumbuh di dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Oleh kalangan Botani, aku sering disebut tanaman sejenis perdu, dan termasuk anggota famili Compositae atau disebut juga Asteraceae.

Bungaku kecil sebesar bunga rumput. Orang lebih mengenaliku dengan warna putih daripada warna lainnya. Hidupku bergerombol diujung dahan dengan harum yang khas. Tinggi batangku dapat mencapai lima meter dengan daun-daun runcing dan lurus. Bungaku istimewa, tak pernah layu, mekarku abadi, sehingga aku dijuluki "bunga abadi".

Sungguh julukan inilah yang menjadi beban bagiku, karena banyak orang, terutama para pecinta alam menyalahgunakan 'arti' keabadianku selama ini.

Keabadianku mereka samakan dengan dengan 'cinta abadi', cinta sepasang manusia yang tidak memiliki ikatan resmi. Ah.... apalah arti protesku?, toh siapa yang peduli dengan rintihanku?

Aku berada dikamar Dara. Tersusun rapi diatas meja belajarnya. Disampingku ada diktat kuliah, novel, majalah remaja dan... bunga-bunga koleksi Dara!. Tepatnya sengaja disimpan Dara, yap! untuk mengenang siapa yang memberikannya!. Aku memang lebih beuntung dari bunga Mawar yang menjadi pendatang baru dikamar ini. Wajahnya pucat, karena air didalam vasnya tidak pernah diganti oleh Dara. Sama halnya dengan nasib Suplir yang telah mengering menjadi pembatas buku, lengkap dengan spora yang masih menempel di tubuhnya, dan Anggrek yang merana karena sebagian kelopak bunganya telah mengering.

Ya.... diantara bunga-bunga milik Dara aku memang diperlakukan istimewa oleh majikanku, Dara! Aku ditaruh di dalam kotak berwarna biru muda, berlapiskan plastik transparan. Aku sangat senang dengan perlakuan baik Dara. Tapi, aku sangat resah dengan label hitam yang bertuliskan "cinta abadi" yang melekat manis di atas plastik kotak ini.

"Kamu beruntung yah... Weis, tempatmu empuk" komentar Mawar suatu hari saat Dara sudah pergi kuliah.

"Iya...Weis, kamu nggak perlu ganti-ganti air seperti aku!" ujar Anggrek sedih

"Ah... kalian bisa aja!" ujarku pelan.

"Tapi benarkan kamu anak emas Dara! Apa karena kamu pemberian Ari, pacar Dara si pecinta alam yang suka naik gunung itu?" kali ini suara Suplir dari balik buku angkat bicara.

Ya, aku memang pemberian Ari Jaya Saputra si anak MAPALA kekasih Dara. Dia mengambilku ketika dia mendaki gunung Slamet. Aku diberikan kepada Dara tepat ketika ulang tahunnya yang ke-22, enam bulan lalu.

"Ah... itukan pikiran kalian saja kalau menganggap aku bahagia disini, sebenarnya aku nggak bahagia kok tinggal disini !" ujarku.

"Kok bisa? mengapa ?" tanya Mawar keheranan.

"Aku ingin sekali Dara menyadari keberadaan kita. Dara seharusnya berfikir ada apa di balik kekuasaan Allah yang telah menciptakan kita. Mereka seharusnya menjaga kita dengan baik. Bukankah Allah menciptakan mereka untuk menjadi khalifah di muka bumi? Manusia seharusnya menyayangi dan merawat kita. Mereka seharusnya berfikir andai tidak ada Mawar, Anggrek, Suplir atau bunga lainnya, bagaimana? Dunia pasti suram tanpa penyejuk mata. Beda kalau ada kita, mereka akan merasa senang dan tenteram bila memandang si Mawar yang sedang mekar, Suplir yang segar atau Anggrek yang.... dan seharusnya manusia yang melihat 'keabadianku' sebagai contoh bagaimana mengabadikan hatinya sebagai rasa syukur ke hadirat Illahi," suaraku pelan, mataku mulai berkaca-kaca menahan air mata yang hampir tumpah.

"Kamu benar, Weis. Seharusnya memang manusia belajar dari fenomena alam seperti kita. Lihat bungaku, berwarna merah menawan, wangi yang semerbak. Allah sengaja menciptakan duri-duri kecil di batangku untuk menjaga kehormatanku dari serangan makhluk yang jahil agar tak mudah di petik begitu saja. Dan kamu juga hidup di puncak gunung dan tepi jurang, sehingga diperlukan perjuangan bagi yang ingin memetikmu. Seharusnya manusia menyadari hal itu, mencontoh kita! indah tapi tak mudah di raih !"

"Ahh..sudahlah... sekarang memang zaman edan, yang pria berjas rapi menutup seluruh aurat, ehh... wanitanya berpakaian seksi minim bahan. Apa itu namanya dunia ngga kebalik ?" sahut Suplir yang dulunya tinggal di teras depan rumah Bayu pacar Dara yang ketiga.

"Ari...ada yang ingin kukatakan," terdengar suara Dara di ruang tamu. Malam itu hanya mereka berdua yang ada di rumah, mama dan papa serta adik-adiknya pergi ke pesta pernikahan relasi papanya.

"Ada apa ?" tanya Ari, mereka berdua duduk di kursi sofa empuk.

"Aku...aku...Telat...aku...ha...mil, Ari!"

"Hah? Kamu hamil ?" tanya Ari kaget, diluar dugaannya

"i...ya, kita harus segera menikah, Ari! Aku takut papa dan mama akan marah !" ujar Dara gusar

"Tidak! Aku tidak mau menikah sekarang! Kamu harus menggugurkan kandunganmu!"

"Ari! Aku ngga mau, ini anak kita! Kamu harus bertanggung jawab !" teriak Dara bercampur tangis

"Ngga, aku ngga mau, mungkin saja itu anakmu dengan pacar kamu yang lain !" cibir Ari

"Ari...teganya kamu bicara begitu, ini anak kamu Ari! Anak kita !"

"Pokoknya tidak! Kamu harus menggugurkan kandunganmu, harus! Titik ! "

"Ehh...temen-temen, Dara kenapa yah ?" tanyaku pada mereka

"Ngga tau, tidak seperti biasanya yah? Mungkin Dara ribut sama Ari, atau berantem sama papa dan mamanya" tebak Anggrek

Tiba-tiba, Dara berjalan tergesa menuju meja belajarnya, meraih kotak mungil yang selam ini disimpannya dengan penuh kasih sayang.

"Percuma kamu berikan aku dulu bunga Edelweis kalau cintamu bukan cinta abadi, tapi cinta murahan! Ngakunya cinta, tapi mengapa kamu tinggalkan aku dalam keadaan begini ?" tangis Dara sambil membuka kotak mungil itu lalu membuang seluruh bunga Edelweis ke dalam tempat sampah yang berada tepat di samping meja belajar. Bunga lainnya, Mawar, Suplir dan Anggrek menjerit histeris!

"Ja...ngan...!!" teriak Mawar, Suplir dan Anggrek serentak. Tapi telambat Edelweis telah dibuang ke dalam tong sampah, dan bercampur dengan sampah lainnya.

Namaku Edelweis alias Anaphalis Javanica. Biasanya aku tumbuh didataran tinggi atau di puncak-puncak gunung. Kali ini aku berada dalam genggaman seorang pemuda bernama Rahman. Dia mengamatiku dari tadi sambil terus berdzikir memuji asma Allah.

"Ya...Rabb yang Maha Kuasa, satu lagi telah Engkau tunjukkan Kebesaran-Mu. Menciptakan bunga Edelweis yang tahan layu dan tak lelah diterpa angin, tanpa memudar dan tanpa kekeringan. Ya... Rabbii, seperti inikah semangat saudara-saudaraku di Palestina dalam menghadapi seragan yahudi demi merebut kembali hak mereka atas Masjidil Aqsha? Ya... Allah kuatkanlah hati-hati kami untuk merebut itu semua" lirih suara Rahman menyejukkan hatiku.

Aku hanya tumbuhan tanpa nyawa, tapi aku merasakan betapa dia seorang pemuda yang "berhasil" mengenali alamnya dan terus berdzikir melihat ke-Esaan penciptaan-Nya. Aku Edelweis tersenyum bahagia dalam genggamannya.

0 komentar: